02/19 2014
Binatang Pun Sehat Berkat (Jamur) Tempe
diambil dari: http://biotek.bppt.go.id/index.php/artikel-sains/130-binatang-pun-sehat-berkat-jamur-tempe
Written by Catur Sriherwanto*
Alamat email: [email protected]
No. WA: 0882 1006 2472
Category:ARTIKEL SAINS Hits: 1192
Teknologi dan pengetahuan tentang tempe ternyata sudah diterapkan pada hewan, dikarenakan khasiat nutrisional maupun fungsionalnya. Sejumlah peneliti di berbagai negara maju sudah membuktikan dampak positif pemberian tempe ataupun jamur tempe(Rhizopus spp.) pada hewan seperti babi, tikus, maupun ikan. Sudah saatnya negara asal mula tempe untuk tidak ketinggalan dalam memasyarakatkan tempe di sektor peternakan.
Tempe telah diakui oleh dunia ilmiah sebagai makanan tradisional asal Indonesia yang kini telah diproduksi di skala industri, baik di Indonesia maupun di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa; dan populer di kalangan kaum vegetarian di seluruh dunia (Jeleń dkk 2013). Fenomena mendunianya tempe, terutama di negara-negara maju, dikarenakan puluhan tahun pengkajian oleh para peneliti manca negara telah menghasilkan informasi berlimpah mengenai berbagai keunggulan tempe. Perubahan fisika-kimiawi yang diakibatkan aktifitas metabolik pertumbuhan jamur tempe Rhizopus spp. pada kedelai menghasilkan kedelai terfermentasi yang memiliki kualitas organoleptik (citarasa dan aroma), nutrisi (gizi) dan fungsional (kesehatan) lebih baik dibandingkan kedelai tak terfermentasi.
Sebagaimana dipaparkan panjang lebar oleh Hesseltine (1985), Nout dan Rombouts (1990), Nout dan Kiers (2005), serta oleh Babu dkk (2009) dalam review mereka, perubahan menguntungkan yang dihasilkan proses fermentasi tempe meliputi penghilangan rasa pahit kedelai; penurunan faktor antinutrisi; perbaikan citarasa, aroma, tekstur, dan kecernaan; peningkatan nilai gizi seperti pertambahan konsentrasi asam amino bebas, asam lemak bebas, zat padatan yang mudah larut dalam air, dan vitamin-vitamin larut dalam air; pemunculan senyawa antioksidatif dan antimikroba, terutama yang mampu melawan bakteri-bakteri patogen dari genus Staphylococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, and Clostridium.
Tempe dan jamur tempe untuk pakan hewan
Berbagai kualitas nutrisi dan khasiat fungsional tempe kedelai yang telah terbukti secara ilmiah ini telah mendorong para peneliti di sejumlah negara untuk mengujicobakan khasiat fungsional tempe terhadap (sel) hewan uji laboratorium maupun hewan ternak. Belanda, Taiwan, dan Jepang adalah di antara negara-negara di mana tempe ataupun jamur tempe, Rhizopus spp., telah diperlihatkan secara ilmiah berpengaruh menguntungkan pada hewan.
Binatang Pun Sehat Berkat (Jamur) Tempe
diambil dari: http://biotek.bppt.go.id/index.php/artikel-sains/130-binatang-pun-sehat-berkat-jamur-tempe
Written by Catur Sriherwanto*
Alamat email: [email protected]
No. WA: 0882 1006 2472
Category:ARTIKEL SAINS Hits: 1192
Teknologi dan pengetahuan tentang tempe ternyata sudah diterapkan pada hewan, dikarenakan khasiat nutrisional maupun fungsionalnya. Sejumlah peneliti di berbagai negara maju sudah membuktikan dampak positif pemberian tempe ataupun jamur tempe(Rhizopus spp.) pada hewan seperti babi, tikus, maupun ikan. Sudah saatnya negara asal mula tempe untuk tidak ketinggalan dalam memasyarakatkan tempe di sektor peternakan.
Tempe telah diakui oleh dunia ilmiah sebagai makanan tradisional asal Indonesia yang kini telah diproduksi di skala industri, baik di Indonesia maupun di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa; dan populer di kalangan kaum vegetarian di seluruh dunia (Jeleń dkk 2013). Fenomena mendunianya tempe, terutama di negara-negara maju, dikarenakan puluhan tahun pengkajian oleh para peneliti manca negara telah menghasilkan informasi berlimpah mengenai berbagai keunggulan tempe. Perubahan fisika-kimiawi yang diakibatkan aktifitas metabolik pertumbuhan jamur tempe Rhizopus spp. pada kedelai menghasilkan kedelai terfermentasi yang memiliki kualitas organoleptik (citarasa dan aroma), nutrisi (gizi) dan fungsional (kesehatan) lebih baik dibandingkan kedelai tak terfermentasi.
Sebagaimana dipaparkan panjang lebar oleh Hesseltine (1985), Nout dan Rombouts (1990), Nout dan Kiers (2005), serta oleh Babu dkk (2009) dalam review mereka, perubahan menguntungkan yang dihasilkan proses fermentasi tempe meliputi penghilangan rasa pahit kedelai; penurunan faktor antinutrisi; perbaikan citarasa, aroma, tekstur, dan kecernaan; peningkatan nilai gizi seperti pertambahan konsentrasi asam amino bebas, asam lemak bebas, zat padatan yang mudah larut dalam air, dan vitamin-vitamin larut dalam air; pemunculan senyawa antioksidatif dan antimikroba, terutama yang mampu melawan bakteri-bakteri patogen dari genus Staphylococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, and Clostridium.
Tempe dan jamur tempe untuk pakan hewan
Berbagai kualitas nutrisi dan khasiat fungsional tempe kedelai yang telah terbukti secara ilmiah ini telah mendorong para peneliti di sejumlah negara untuk mengujicobakan khasiat fungsional tempe terhadap (sel) hewan uji laboratorium maupun hewan ternak. Belanda, Taiwan, dan Jepang adalah di antara negara-negara di mana tempe ataupun jamur tempe, Rhizopus spp., telah diperlihatkan secara ilmiah berpengaruh menguntungkan pada hewan.
Tempe onggok (kanan) yang dibuat dari substrate onggok (kiri) yang difermentasi menggunakan jamurRhizopus sp.
Para peneliti Belanda telah menemukan bahwa tempe mampu melawan infeksi bakteri E. coli penyebab diare(Enterotoxigenic Eschericia coli, ETEC) dengan cara mencegah penempelan bakteri tersebut pada dinding usus halus babi (Kiers dkk 2002). Selain itu, kedelai rebus maupun tempe diketahui bermanfaat menjaga keseimbangan cairan selama infeksi ETEC. Tempe juga diketahui memicu penyerapan yang tinggi terhadap bahan kering (dry matter, DM)dan bahan terlarut. Secara khusus penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tempe berkemungkinan memiliki manfaat mengatasi diare pasca penyapihan pada anakan babi (Kiers dkk 2006). Kini telah ditemukan bahwa khasiat tempe tersebut disebabkan keberadaan senyawa bioaktif berberat molekul >30 kDa yang terdiri atas arabinosa yang berasal dari arabinan atau rantai sisi arabinogalaktan dari polisakarida pektin penyusun dinding sel kedelai. Senyawa bioaktif ini diduga dilepaskan atau dibentuk selama fermentasi melalui modifikasi enzimatis (Roubos-van den Hil dkk 2010).
Dalam sejumlah penelitian di Taiwan, tempe telah diujicobakan pada tikus. Mereka mendapatkan bahwa, selain terbukti aman bagi kesehatan tikus (Kuo 2008), pemberian tempe pada tikus berpotensi menghambat kanker usus besar dengan cara meningkatkan aktifitas enzim superoxide dismutase pada jaringan liver atau menurunkan aktifitas enzim β-Glukuronidase di dalam sekum (pangkal usus besar) melalui penghambatan pertumbuhan bakteri patogenClostridium perfringens (Yu 2009). Pemberian ekstrak tempe pada tikus juga menunjukkan khasiat antioksidan dan anti-inflamasi (Chen 2010). Pada strain tikus rentan yang mengalami percepatan penuaan (senescence accelerated prone mice, SAPM8), pemberian pakan tempe mampu memperbaiki kemampuan belajar dan daya ingat, mengurangi peroksidasi lipid dan protein, dan juga meningkatkan daya kerja sistem pertahanan tubuh antioksidatif, mengendalikan reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, memperlambat proses penuaan (Liang 2009), serta memperbaiki kualitas spermatozoa (Yeh 2009).
Jamur tempe mampu tumbuh di substrat selain kedelai. Di Swedia, para peneliti telah mengembangkan
tempe (kanan) yang berbahan baku oat (kiri) dan barley (tengah). Tempe ini telah dibuktikan mampu
meningkatkan ketersediaan kandungan zat besi dan folat yang dapat diserap tubuh (Bruzelius 2009).
Watanabe dkk (2006) dari Jepang menggunakan tikus pejantan jenis Wistar sebagai hewan uji yang diberi pakan tempe GABA, yakni tempe yang diproduksi melalui fermentasi aerob yang kemudian dilanjutkan dengan fermentasi anaerob sehingga memiliki kandungan asam amino bebas, terutama gamma-amino butyric acid (GABA), dan oligopeptida yang lebih tinggi daripada oligopeptida yang terkandung pada tempe biasa. Hasilnya menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan tikus yang diberi pakan berlemak tinggi seperti kasein dan protein kedelai, kadar triasilgliserol plasma darah menurun pasca konsumsi tempe GABA. Kadar kolesterol lipoprotein berberat jenis tinggi (high density lipoprotein (HDL)-cholesterol) yang meningkat dan kadar kolesterol lipoprotein berberat jenis rendah (low density lipoprotein (LDL) cholesterol) yang menurun pada tikus yang diberi tempe GABA meningkatkan pengaruh antiaterosklerosis, yakni penyempitan dan pengerasan pembuluh darah arteri. Pemberian tempe pada tikus juga dibuktikan oleh Watanabe dkk (2008) meningkatkan rasio penyerapan kalsium dibandingkan dengan pemberian kedelai tak terfermentasi.
Jamur tempe Rhizopus telah pula dikaji pengaruhnya pada ikan. Pada ikan salmon sockeye (Oncorhynchus nerka), pemberian ekstrak Rhizopus terbukti mampu mempercepat pertumbuhan badan ikan pejantan maupun betina dan mempercepat kematangan kelamin pada pejantan (Bhandari dkk 2002). Demikian pula, Mingist dkk (2007) menemukan peningkatan pertumbuhan badan dan produksi steroid yang lebih tinggi pada ikan salmon masu (Oncorhynchus masouBrevoort) yang diberi ekstrak jamur Rhizopus. Ini menunjukkan keberadaan zat aktif fisiologis di dalam miselium jamurRhizopus.
Keunggulan pakan terfermentasi jamur tempe
Ilmuwan berbagai negara telah menerbitkan berbagai hasil penelitian mereka terkait dengan fermentasi limbah agroindustri dengan menggunakan jamur tempe Rhizopusspp. Hasil-hasil kajian tersebut membuktikan bahwa Rhizopus spp. mampu tumbuh dan meningkatkan kandungan nutrisi pada substrat selain kedelai, seperti limbah kulit coklat, kulit singkong, bungkil kelapa sawit (Lateef dkk 2008), tongkol jagung, dedak, kulit kacang tunggak (Oduguwa dkk 2008), residu ubi jalar (Yang dkk 1993), dan onggok (Soccol dkk 1995).
Pada onggok misalnya, fermentasi menggunakan Rhizopus spp. mampu meningkatkan kadar protein dari 1,45 menjadi 6,6–9,2 g/100 g, dan sejumlah vitamin (dalam satuan μg/g) seperti thiamin (dari 0,11 menjadi 0,49–1,18), riboflavin (dari 2,05 menjadi 8,45–11,13), piridoksin (dari 0,07 menjadi 0,98-2,89), niasin (dari 5,0 menjadi 184,1–261,0), dan biotin (dari 0,03 menjadi 0,71–1,21), dan asam folat (dari 0,18 menjadi 0,62) (Sriherwanto 2010). Hal serupa didapatkan Lateef dkk (2008) pada fermentasi kulit buah coklat (cocoa pod husk) menggunakan suatu strain Rhizopus stolonifer, dimana pasca fermentasi terjadi peningkatan aktifitas antioksidan, pertambahan kadar protein kasar sebesar 94,8%, serta penurunan serat kasar sebesar 7,2%.
Selain mampu tumbuh di media dengan kualitas nutrisi rendah, biomassa kering miselia Rhizopus mengandung nutrisi yang cukup baik, di mana kadar proteinnya bisa mencapai sekitar 43-50% (Jin dkk 1999; Jin dkk 2002; Jin dkk 2001). Biomassa jamur Rhizopus oligosporus mengandung kadar asam amino yang cukup signifikan, sebagian besarnya lebih baik daripada daftar standar protein acuan FAO (Jin dkk 2002). Omar and Li (1993) melaporkan bahwa selain memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, isolat Rhizopus arrhizus yang mereka dapatkan mengandung lipid (20,6%), karbohidrat (17,7%), abu (6,6%), serat kasar (5,2%), dan asam nukleat (2,2%).
Fermentasi menggunakan jamur Rhizopus spp. juga mampu menurunkan kadar antinutrisi dan toksin dalam bahan pakan seperti sianida (Ofuya and Obilor 1994), bungkil rapeseed dan glukosinolat (Pal Vig and Walia 2001), aflatoxin B1 (Kusumaningtyas dkk 2006), ochratoxin A, zearalenone dan patulin (Shantha 1999). Hal ini sangatlah penting dalam rangka menghindarkan ternak mengalami gangguan kesehatan akibat zat-zat antinutrisi dan toksin yang seringkali mengkontaminasi bahan-bahan pakan.
Beragam keunggulan bahan pakan berbasis fermentasi dengan menggunakan jamur tempe Rhizopus spp. sangat gencar diteliti ilmuwan mancanegara hingga kini. Khasiat nutrisi, kesehatan, dan degradasi zat-zat antinutrisi olehRhizopus spp. telah dibuktikan secara ilmiah. Penelitian-penelitian seputar dampak pemberian jamur tempe dan/atau hasil fermentasi menggunakan jamur tempe pada hewan merupakan salah satu topik penelitian terapan paling terkini, sebagiannya bahkan telah diajukan sebagai paten (Bijl and Kruyssen 2003; Hogan and Gierhart 1989; Kiers dkk 2003). Sudah sepatutnya negara Indonesia, yang diakui sebagai negeri asal usul tempe, tidak ketinggalan dalam mengembangkan produk warisan leluhur tersebut untuk peternakan demi mendukung program ketahanan pangan.
Laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak, BPPT, di kawasan PUSPIPTEK, Serpong, kini memfokuskan salah satu kegiatannya pada pengembangan jamur tempe Rhizopus spp. sebagai sumber nutrisi ternak. Sejumlah strainRhizopus spp. telah diisolasi, diseleksi dan dieksplorasi kemampuannya dalam biokonversi berbagai limbah agroindustri dalam rangka penyediaan sumber pakan alternatif berkualitas. Diharapkan kegiatan ini nantinya akan menghasilkan teknologi tepat guna yang dapat diterapkan seluas-luasnya di sektor peternakan maupun industri pakan sebagai salah satu penyedia komponen pakan alternatif dengan nilai nutrisional dan fungsional yang tak kalah dengan komponen pakan konvensional.
*Penulis adalah staf perekayasa di laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak dan sedang melakukan pengkajian tentang potensi aplikasi limbah agroindustri terfermentasi Rhizopus spp. sebagai nutrisi ternak. Alamat email:[email protected]
Referensi:
Para peneliti Belanda telah menemukan bahwa tempe mampu melawan infeksi bakteri E. coli penyebab diare(Enterotoxigenic Eschericia coli, ETEC) dengan cara mencegah penempelan bakteri tersebut pada dinding usus halus babi (Kiers dkk 2002). Selain itu, kedelai rebus maupun tempe diketahui bermanfaat menjaga keseimbangan cairan selama infeksi ETEC. Tempe juga diketahui memicu penyerapan yang tinggi terhadap bahan kering (dry matter, DM)dan bahan terlarut. Secara khusus penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tempe berkemungkinan memiliki manfaat mengatasi diare pasca penyapihan pada anakan babi (Kiers dkk 2006). Kini telah ditemukan bahwa khasiat tempe tersebut disebabkan keberadaan senyawa bioaktif berberat molekul >30 kDa yang terdiri atas arabinosa yang berasal dari arabinan atau rantai sisi arabinogalaktan dari polisakarida pektin penyusun dinding sel kedelai. Senyawa bioaktif ini diduga dilepaskan atau dibentuk selama fermentasi melalui modifikasi enzimatis (Roubos-van den Hil dkk 2010).
Dalam sejumlah penelitian di Taiwan, tempe telah diujicobakan pada tikus. Mereka mendapatkan bahwa, selain terbukti aman bagi kesehatan tikus (Kuo 2008), pemberian tempe pada tikus berpotensi menghambat kanker usus besar dengan cara meningkatkan aktifitas enzim superoxide dismutase pada jaringan liver atau menurunkan aktifitas enzim β-Glukuronidase di dalam sekum (pangkal usus besar) melalui penghambatan pertumbuhan bakteri patogenClostridium perfringens (Yu 2009). Pemberian ekstrak tempe pada tikus juga menunjukkan khasiat antioksidan dan anti-inflamasi (Chen 2010). Pada strain tikus rentan yang mengalami percepatan penuaan (senescence accelerated prone mice, SAPM8), pemberian pakan tempe mampu memperbaiki kemampuan belajar dan daya ingat, mengurangi peroksidasi lipid dan protein, dan juga meningkatkan daya kerja sistem pertahanan tubuh antioksidatif, mengendalikan reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, memperlambat proses penuaan (Liang 2009), serta memperbaiki kualitas spermatozoa (Yeh 2009).
Jamur tempe mampu tumbuh di substrat selain kedelai. Di Swedia, para peneliti telah mengembangkan
tempe (kanan) yang berbahan baku oat (kiri) dan barley (tengah). Tempe ini telah dibuktikan mampu
meningkatkan ketersediaan kandungan zat besi dan folat yang dapat diserap tubuh (Bruzelius 2009).
Watanabe dkk (2006) dari Jepang menggunakan tikus pejantan jenis Wistar sebagai hewan uji yang diberi pakan tempe GABA, yakni tempe yang diproduksi melalui fermentasi aerob yang kemudian dilanjutkan dengan fermentasi anaerob sehingga memiliki kandungan asam amino bebas, terutama gamma-amino butyric acid (GABA), dan oligopeptida yang lebih tinggi daripada oligopeptida yang terkandung pada tempe biasa. Hasilnya menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan tikus yang diberi pakan berlemak tinggi seperti kasein dan protein kedelai, kadar triasilgliserol plasma darah menurun pasca konsumsi tempe GABA. Kadar kolesterol lipoprotein berberat jenis tinggi (high density lipoprotein (HDL)-cholesterol) yang meningkat dan kadar kolesterol lipoprotein berberat jenis rendah (low density lipoprotein (LDL) cholesterol) yang menurun pada tikus yang diberi tempe GABA meningkatkan pengaruh antiaterosklerosis, yakni penyempitan dan pengerasan pembuluh darah arteri. Pemberian tempe pada tikus juga dibuktikan oleh Watanabe dkk (2008) meningkatkan rasio penyerapan kalsium dibandingkan dengan pemberian kedelai tak terfermentasi.
Jamur tempe Rhizopus telah pula dikaji pengaruhnya pada ikan. Pada ikan salmon sockeye (Oncorhynchus nerka), pemberian ekstrak Rhizopus terbukti mampu mempercepat pertumbuhan badan ikan pejantan maupun betina dan mempercepat kematangan kelamin pada pejantan (Bhandari dkk 2002). Demikian pula, Mingist dkk (2007) menemukan peningkatan pertumbuhan badan dan produksi steroid yang lebih tinggi pada ikan salmon masu (Oncorhynchus masouBrevoort) yang diberi ekstrak jamur Rhizopus. Ini menunjukkan keberadaan zat aktif fisiologis di dalam miselium jamurRhizopus.
Keunggulan pakan terfermentasi jamur tempe
Ilmuwan berbagai negara telah menerbitkan berbagai hasil penelitian mereka terkait dengan fermentasi limbah agroindustri dengan menggunakan jamur tempe Rhizopusspp. Hasil-hasil kajian tersebut membuktikan bahwa Rhizopus spp. mampu tumbuh dan meningkatkan kandungan nutrisi pada substrat selain kedelai, seperti limbah kulit coklat, kulit singkong, bungkil kelapa sawit (Lateef dkk 2008), tongkol jagung, dedak, kulit kacang tunggak (Oduguwa dkk 2008), residu ubi jalar (Yang dkk 1993), dan onggok (Soccol dkk 1995).
Pada onggok misalnya, fermentasi menggunakan Rhizopus spp. mampu meningkatkan kadar protein dari 1,45 menjadi 6,6–9,2 g/100 g, dan sejumlah vitamin (dalam satuan μg/g) seperti thiamin (dari 0,11 menjadi 0,49–1,18), riboflavin (dari 2,05 menjadi 8,45–11,13), piridoksin (dari 0,07 menjadi 0,98-2,89), niasin (dari 5,0 menjadi 184,1–261,0), dan biotin (dari 0,03 menjadi 0,71–1,21), dan asam folat (dari 0,18 menjadi 0,62) (Sriherwanto 2010). Hal serupa didapatkan Lateef dkk (2008) pada fermentasi kulit buah coklat (cocoa pod husk) menggunakan suatu strain Rhizopus stolonifer, dimana pasca fermentasi terjadi peningkatan aktifitas antioksidan, pertambahan kadar protein kasar sebesar 94,8%, serta penurunan serat kasar sebesar 7,2%.
Selain mampu tumbuh di media dengan kualitas nutrisi rendah, biomassa kering miselia Rhizopus mengandung nutrisi yang cukup baik, di mana kadar proteinnya bisa mencapai sekitar 43-50% (Jin dkk 1999; Jin dkk 2002; Jin dkk 2001). Biomassa jamur Rhizopus oligosporus mengandung kadar asam amino yang cukup signifikan, sebagian besarnya lebih baik daripada daftar standar protein acuan FAO (Jin dkk 2002). Omar and Li (1993) melaporkan bahwa selain memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, isolat Rhizopus arrhizus yang mereka dapatkan mengandung lipid (20,6%), karbohidrat (17,7%), abu (6,6%), serat kasar (5,2%), dan asam nukleat (2,2%).
Fermentasi menggunakan jamur Rhizopus spp. juga mampu menurunkan kadar antinutrisi dan toksin dalam bahan pakan seperti sianida (Ofuya and Obilor 1994), bungkil rapeseed dan glukosinolat (Pal Vig and Walia 2001), aflatoxin B1 (Kusumaningtyas dkk 2006), ochratoxin A, zearalenone dan patulin (Shantha 1999). Hal ini sangatlah penting dalam rangka menghindarkan ternak mengalami gangguan kesehatan akibat zat-zat antinutrisi dan toksin yang seringkali mengkontaminasi bahan-bahan pakan.
Beragam keunggulan bahan pakan berbasis fermentasi dengan menggunakan jamur tempe Rhizopus spp. sangat gencar diteliti ilmuwan mancanegara hingga kini. Khasiat nutrisi, kesehatan, dan degradasi zat-zat antinutrisi olehRhizopus spp. telah dibuktikan secara ilmiah. Penelitian-penelitian seputar dampak pemberian jamur tempe dan/atau hasil fermentasi menggunakan jamur tempe pada hewan merupakan salah satu topik penelitian terapan paling terkini, sebagiannya bahkan telah diajukan sebagai paten (Bijl and Kruyssen 2003; Hogan and Gierhart 1989; Kiers dkk 2003). Sudah sepatutnya negara Indonesia, yang diakui sebagai negeri asal usul tempe, tidak ketinggalan dalam mengembangkan produk warisan leluhur tersebut untuk peternakan demi mendukung program ketahanan pangan.
Laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak, BPPT, di kawasan PUSPIPTEK, Serpong, kini memfokuskan salah satu kegiatannya pada pengembangan jamur tempe Rhizopus spp. sebagai sumber nutrisi ternak. Sejumlah strainRhizopus spp. telah diisolasi, diseleksi dan dieksplorasi kemampuannya dalam biokonversi berbagai limbah agroindustri dalam rangka penyediaan sumber pakan alternatif berkualitas. Diharapkan kegiatan ini nantinya akan menghasilkan teknologi tepat guna yang dapat diterapkan seluas-luasnya di sektor peternakan maupun industri pakan sebagai salah satu penyedia komponen pakan alternatif dengan nilai nutrisional dan fungsional yang tak kalah dengan komponen pakan konvensional.
*Penulis adalah staf perekayasa di laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak dan sedang melakukan pengkajian tentang potensi aplikasi limbah agroindustri terfermentasi Rhizopus spp. sebagai nutrisi ternak. Alamat email:[email protected]
Referensi:
- Babu P, Bhakyaraj R, Vidhyalakshmi R (2009) A Low Cost Nutritious Food "Tempeh"- A Review. World Journal of Dairy & Food Sciences 4:22-27
- Bhandari RK, Ushikoshi I, Fukuoka H, Koide N, Yamauchi K, Ueda H (2002) Effects of Rhizopus Extract Administration on Somatic Growth and Sexual Maturation in Lacustrine Sockeye Salmon Oncorhynchus nerka. Fisheries Science 68: 776-782.
- Bijl HL, Kruyssen FJ (2003) Foodstuffs Containing Mucorales Fungi. US Patent Application Publication 0157219 A1, 21 August 2003.
- Bruzelius B (2009) Tempe - a new vegetarian food. Sustainability, Journal From The Swedish Research Council, January 2009. http://sustainability.formas.se/en/Issues/Issue-1-Januari-2009/Content/Articles/Tempe---a-new-vegetarian-food-/, accessed on Friday, 21 February 2014, 13:08 Jakarta Time.
- FAO (2002) Animal Feed Resources Information System. Tropical Feeds:76-82, dalam Marcel1 BKG, André KB, Théodore D, Séraphin KC (2011) Waste and By-Products of Cocoa in Breeding: Research Synthesis. International Journal of Agronomy and Agricultural Research 1: 9-19.
- Hesseltine CW (1985) Fungi, people, and soybeans. Mycologia 77: 505-525.
- Hogan WC, Gierhart DO (1989) High moisture animal food product containing a filamentous fungal biomass. US Patent 4900093, 24 January 1989.
- Jeleń H, Majcher M, Ginja A, Kuligowski M (2013) Determination of compounds responsible for tempeh aroma. Food Chemistry 141:459–465.
- Jin B, Van Leeuwen J, Patel B, Doelle HW, Yu Q (1999) Production of fungal protein and glucoamylase by Rhizopus oligosporus from starch processing wastewater. Process Biochemistry 34: 30.
- Jin B, Yan XQ, Yu Q, van Leeuwen JH (2002) A comprehensive pilot plant system for fungal biomass protein production and wastewater reclamation. Advances in Environmental Research 6: 179-189.
- Jin B, Yu Q, Van Leeuwen J (2001) A bioprocessing mode for simultaneous fungal biomass protein production and wastewater treatment using an external air-lift bioreactor. Journal of Chemical Technology & Biotechnology 76: 1041-1048.
- Kiers JL, Nout MJR, Rombouts FM, Nabuurs MJA, van der Meulen J (2002) Inhibition of adhesion of enterotoxigenic Escherichia coli K88 by soya bean tempe. Lett Appl Microbiol FIELD Full Journal Title:Letters in applied microbiology 35: 311-5.
- Kiers JL, Nout MJR, Rombouts FM (2003) Process for the manufacture of a fermented health-promoting product. Patent Application Publication US 2004/0166198 A1, 26 August 2004.
- Kiers JL, Nout MJR, Rombouts FM, van Andel EE, Nabuurs MJA, van der Meulen J (2006) Effect of processed and fermented soyabeans on net absorption in enterotoxigenic Escherichia coli-infected piglet small intestine. British Journal of Nutrition 95: 1193-1198.
- Kuo T-S (2008) Safety Evaluation of Tempeh and Its Effects on the Intestinal Microflora Using Animals as the Tested Model Department of Food and Nutrition. Taichung, Taiwan: Providence University. 74 pages.
- Kusumaningtyas E, Widiastuti R, Maryam R (2006) Reduction of aflatoxin B1 in chicken feed by usingSaccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and their combination. Mycopathologia 162: 307-311.
- Nout MJR, Rombouts FM (1990) Recent developments in tempe research. Journal of Applied Microbiology 69: 609-633.
- Nout MJR, Kiers JL (2005) Tempe Fermentation, Innovation and Functionality: Update into the Third Millenium. Journal of Applied Microbiology 98: 789-805.
- Roubos-van den Hil PJ, Schols HA, Nout MJR, Zwietering MH, Gruppen H (2010) First Characterization of Bioactive Components in Soybean Tempe That Protect Human and Animal Intestinal Cells against Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) Infection. Journal of Agricultural and Food Chemistry 58: 7649-7656.
- Yu P-Y (2009) Effects of the Tempeh on Intestinal Microbiota and Colon Precancerous Lesions in Rats - Master Thesis Department of Food and Nutrition. Taichung, Taiwan: Providence University. 108 pages.
- Chen W-w (2010) The Anti-Inflammatory Effect of Tempeh in BV-2 Microglial Cells and Senescence Accelerated Mice - Master Thesis Department of Food and Nutrition. Taichung, Taiwan: Providence University. 90 pages.
- Liang B-C (2009) The effect of tempeh on aging and immune function in senescence accelerated mice Department of Food and Nutrition. Taichung, Taiwan: Providence University. 145 pages.
- Watanabe N, Aoki H, Fujimoto K (2008) Fermentation of soybean by Rhizopus promotes the calcium absorption ratio in rats. Journal of the Science of Food and Agriculture 88: 2749-2752.
- Lateef A, Oloke J, Gueguim Kana E, Oyeniyi S, Onifade O, Oyeleye A, Oladosu O, Oyelami A (2008) Improving the quality of agro-wastes by solid-state fermentation: enhanced antioxidant activities and nutritional qualities. World Journal of Microbiology and Biotechnology 24: 2369-2374.
- Mingist M, Ushikoshi S, Ueda H (2007) In vivo and in vitro effects of Rhizopus extract on body growth and steroid production in masu salmon, Oncorhynchus masou Brevoort. Aquaculture Research 38: 708-717.
- Oduguwa OO, Edema MO, Ayeni AO (2008) Physico-chemical and microbiological analyses of fermented corn cob, rice bran and cowpea husk for use in composite rabbit feed. Bioresource Technology 99: 1816-1820.
- Ofuya CO, Obilor SN (1994) The effects of solid-state fermentation on the toxic components of cassava peel. Process Biochemistry 29: 25-28.
- Omar IC, Li LS (1993) Fungal isolation and the production of its biomass in a palm oil medium. Pertanika Journal of Science and Technology 1: 209-224.
- Pal Vig A, Walia A (2001) Beneficial effects of Rhizopus oligosporus fermentation on reduction of glucosinolates, fibre and phytic acid in rapeseed (Brassica napus) meal. Bioresource Technology 78: 309-312.
- Shantha T (1999) Fungal degradation of aflatoxin B1. Natural Toxins 7: 175-178.
- Soccol CR, Stertz SC, Raimbault M, Pinheiro LI (1995) Biotransformation of solid waste from cassava starch production by Rhizopus in solid state fermentation. Part III. Scale-up studies in different bioreactors. Arquivos de Biologia e Tecnologia 38: 1319-1326.
- Sriherwanto C (2010) Studies on the Solid State Fermentation of Cassava Bagasse for Animal Feed - Doctoral Thesis Department of Chemistry. Hamburg: University of Hamburg, Germany. 211.
- Watanabe N, Aoki H, Fujimoto K (2008) Fermentation of soybean by Rhizopus promotes the calcium absorption ratio in rats. Journal of the Science of Food and Agriculture 88: 2749-2752.
- Watanabe N, Endo Y, Fujimoto K, Aoki H (2006) Tempeh-like fermented soybean (GABA-tempeh) has an effective influence on lipid metabolism in rats. Journal of Oleo Science 55: 391-396.
- Yeh W-c (2009) Effect of tempeh on learning and memory ability and reproduction function in senescence accelerated mice Department of Food and Nutrition. Taichung, Taiwan: Providence University. 152 pages.
- Yang SS, Jang HD, Liew CM, Preez JC (1993) Protein enrichment of sweet potato residue by solid-state cultivation with mono- and co-cultures of amylolytic fungi. World Journal of Microbiology and Biotechnology 9: 258-264.